Ads 468x60px

Menelusuri jejak kehidupan para tokoh sufi.

Labels

Jumat, 24 Juni 2016

BIOGRAFI SYEIKH MA'RUF AL-KARKHI


Pada perkembangan Tasawuf, ada seorang sufi yang sangat terkenal pada masanya. Ketenarannya tidak hanya dikalangan umat Muslim saja akan tetapi pada umat non-Muslim juga sering diakui sebagai bagian dari mereka. Sufi itu adalah Ma’ruf al-Karkhi, nama lengkapnya adalah Abu Mahfudh Ma’ruf bin Fairuz al-Kurkhi / al-Karkhi (w. 200H./815M.). Perihal nisbah beliau al-Kurkhi atau al-Karkhi tidak diketahui alasan yang pasti. Akan tetapi diyakini bahwa al-Kurkhi atau al-Karkhi adalah : (1) nama sebuah kawasan di Irak Timur, (2) nama sebuah pemukiman di Kota Baghdad. Di tempat inilah sufi itu menetap hingga wafat.

Ma’ruf al-Karkhi dilahirkan dari keluarga Nashrani. Sejak kecil Ma’ruf dididik di lingkungan Romo dan dibekali dengan kepercayaan Nashrani. Ada sebuah kejadian yang menarik dari Ma’ruf al-Karkhi ini, yaitu ketika ada seorang Romo yang sedang mengajarkan tentang Tuhan dan menyatakan bahwa “Allah itu satu dari Trinitas”. Pada saat itu juga Ma’ruf menolak terhadap pernyataan tersebut, dan dia menyatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak dalam Trinitas. Karena pernyataannya itu melawan kepercayaan Gereja dan Romo tersebut, maka Ma’ruf diusir dari lingkungan Gereja, kemudian dia memutuskan untuk mengembara dan mencari sebuah kebenaran. Pada pengembaraannya itu bertemu dengan seorang Imam dari sekte Syi’ah Imamiyyah, yaitu Imam Ali bin Musa al-Ridha. Pada Imam Ali Musa ar-Ridha inilah dia belajar tentang banyak hal, dan pada akhirnya beliau menyatakan masuk Islam di hadapan Imam Ali bin Musa tersebut.

Perlu diketahui bahwasanya Imam Ali bin Musa al-Ridha ini adalah keturunan Ahlulbait, dan beliau dipercayai sebagai Imam kedelapan dari sekte Syi’ah Imamiyyah. Dan para Imam yang ada pada sekte Imamiyyah ini adalah : (1) Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husein bin Ali, (4) Ali Zainal Abidin, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far as-Shadiq, (7) Musa al-Khadim, (8) Ali ar-Rdha, (9) M. al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) Hasan al-‘Askari, (12) dan M. al-Mahdi. Imam Ali ar-Ridha memberikan pengajaran terpenting kepada Ma’ruf al-Karkhi, yaitu sebuah tradisi Intelektual dan tradisi Spiritual atau Ibadah.

Ketika sekian lama beliau belajar bersama dengan Imam Ali bin Musa al-Ridha, maka semakin kuatlah keimanan dan keyakinan beliau tehadap Islam. Maka beliau sudah mulai dipandang sebagai seorang yang mempunyai intelektual yang cerdas dan menjadi seorang sufi. Pada suatu ketika kedua orang tua Ma’ruf al-Karkhi sangat merindukannya, dan menginginkan beliau untuk kembali kepada mereka. Karena kerinduan kedua orangtuanya itu, maka terjadilah kontak batin antara beliau dengan Ibunya. Dengan perasaan itu maka beliau kembali kepada keluarganya dan bertemu dengan orang tua beliau. Setelah itu beliau ditanya oleh orang tuanya, Engkau beragama apa? Maka beliau menjawab : “Aku memeluk Agama yang suci”. Karena orang tuanya berjanji akan mengikuti Agama yang dipeluk oleh anaknya sebelum beliau merantau dan mencari kebenaran, maka ketika beliau mendapatkan Agama yang lurus menurut beliau maka orang tuanya ikut masuk kepada Agama tersebut. Setelah mendengar itu kedua orangtuanya berpindah Agama dari agama Kristiani kepada Agama Islam.

Abu Yazid Al-Busthami

Abu Yazid AlBustami adalah sufi abad III Hijriyah berkebangsaan Persialahir tahun 804 M/ 188H. Nama kecilnya adalah Tayfur, sedang lengkapnya Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami.
Dalam literatur-literatur tasawuf, namanya sering ditulis dengan Bayazid Bastami(بايزيد بسطامى). Setelah dikaruniai seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid (arti:Ayah Yazid). Al-Busthami sendiri adalah nisbah (ditujukan) pada daerah kelahirannya Bistami, Qumis, di daerahtenggara Laut Kaspia, Iran. Ayahnya bernama Isa, sedangkan kakeknyabernama Surusyan, yang mana keduanya beragama Majusi (agama bangsa Persia yang mengajarkan penyembahan kepada api dan berhala), namun kemudian masuk Islam. Kedua orangtuanya Abu Yazid adalah muslim yang taat, shaleh, wara (sederhana dan mementingkan kehalalan rizki yang dicari dan diterima), serta zuhud (berperilaku seperti yang dilakukan para pendahulu yang suka berbuat baik, meningkatkan hubungan dengan Allah untuk mencapai derajat yang mulia dan tinggi). Sedang, kakaknya bernama Adam dan adiknya bernama Ali yang juga sufi. Ada sufi yang memiliki nama hampir mirip dengannya, yakni Abu Yazid dan Taifur Al Bistami Al-Asghar. Data hidup yang dimilikinya sangatlah terbatas. Info-info mengenai dirinya di dapat dari Tayfur (cucu dari Adam). Selain itu, biografi Abu Yazid juga diketahui melalui tokoh-tokoh lain yang pernah berjumpa serta mencatat ucapan-ucapannya, seperti Abu Musa al-Dabili, Abu Ishaq al-Harawi, dan lain-lain. Sejarah mencatat bahwa ia tidak meninggalkan suatu tulisan, barang satupun.
Saat remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami Al-Qur'an serta hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Ia kemudian mempelajari fikih Mazhab Hanafi (salah satu aliran metodologi fikih yang didirikan oleh Imam Hanafi, dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu Sunni), sebelum akhirnya menempuh jalan tasawuf. Karena ia menganut mazhabHanafi, maka ia termasuk dalam golongan Ashaburra'yi, yakni suatu aliran yang memberikan peranan besar kepada akal/pemikiran (Arab:Al-Ra'yu) untuk memahami hukum Islam.
Sebagai orang yang mengerti hukum-hukum yang dikaji melalui fikih bermazhab Hanafi, kepatuhannya pada syariat Islamsangatlah kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya. Ia pernah berkata demikian, "Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat , seperti duduk bersila di udara, maka janganlah engkau terperdaya olehnya. Perhatikanlah apakah ia melaksanakan perintah Tuhan, mejauhi larangan (Tuhan), dan menjaga dirinya dalam batas-batas syariat."  Selain itu, Abu Yazid juga pernah mengajak keponakannya, Isa bin Adam, untuk memperhatikan seseorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai zahid (orang yang menolak dunia, berpikir tentang kematian, yang memandang bahwa apa yang dimilikinya tidaklah punya nilai dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah swt).[1][8][9][10] Waktu itu orang tersebut sedang berada di dalam masjid dan terlihat batuk lalu meludah ke depan, ke arah kiblat di dalam masjid). Karena menyaksikan kejadian tersebut, yang mana hal ini tidak sesuai denganadab (akhlak) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, Abu Yazid pergi dan berkomentar, "Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bila ia begitu, ia tidak dapat dipercaya atas apa-apa yang didakwakannya (omongannya tidak dapat dipercaya)."
Ia juga mengungkapkan bahwa pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan wanita sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, "Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah saw?"  Bahkan karena begitu taatnya pada ajaranagama, dia menghukum dirinya sendiri jika melanggar. Katanya, "Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat, namun kemudian diriku tidak mematuhinya. Oleh karena itu, selama setahun diriku tidak kuberi air (minum)."'  Kisah lain juga pernah ia alami. Sebuah riwayat (cerita turun-temurun) memberitahukan bahwa suatu ketika ia bermalam di padang pasir dan menutup kepalanya dengan pakaian lalu tertidur. Tak disangka, dia mengalamai hadats besar (suatu kondisi yang dapat menghalangi seseorang melakukan shalat, seperti haid, keluarnyamani, dan lain-lain), sehingga diwajibkan mandi jinabat /mandi wajib(mengalirkan air dan mengusap seluruh angota tubuh dengan melafalkan niat tertentu). Akan tetapi malam itu terlalu dingin dan ketika terbangun, dirinya merasa enggan untuk mandi dengan air yang juga terlalu dingin. Abu Yazid berniat untuk mandi saat matahari sudah tinggi, namun setelah menyadari betapa ia tidak mempedulikan kewajiban agama, akhirnya dia bangkit dan melumerkan salju pada jubahnya. Setelah itu Abu Yazid mandi dengan menggunakan jubah yang basah dan dingin tersebut lalu dia dipakainya kembali. Tubuhnya kedinginan, lalu ia jatuh pingsan.
Banyak literatur menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 261 Hijriyah /875 Masehi. Namun pendapat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 264 Hijriyah / 878 Masehi. Abu Yazid menghabiskan seluruh hidupnya di kotakelahirannya, Bistami. Pernah ada yang berkata padanya bahwa orang yang mencari hakekat (hidup) biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian ia hanya menjawab, "Temanku (maksudnya, Tuhan) tidak pernah berpergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah)dari sini." Namun tidak dapat diacuhkan ketika beberapa kali ia terpaksa menyingkir dari Bistami karena munculnya tekanan dan permusuhan dari pihak yang menganggap sufisme atau tasawufnya menyimpang, tetapi hal itu hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.


Junaid al-Baghdadi

Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandî al-Baghdadi al-Syafi'i,[1]atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmufiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i,
Al-Junayd mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqti hinggap pada ahirnya ketinggian ilmu al-Junayd menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Demikianlah, bahwa kecintaannya terhdap ilmu tasawuf sangatlah tinggi, hal ini diungkapkannya dengan berkata: “Apabila saya telah mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawuf, tentulah saya telah pergi mencarinya, sekalipun harus merangkak.[2]
Salah satu murid Al-Junayd adalah Mansur Al-Hallaj. Pada suatu saat ia mengalami dilema yang sangat berat untuk diputuskan. Hal ini terjadi, ketika ia menerima gugatan pengaduan tentang kesalahan dan penyimpangan Al-Ḥallaj dalam pemikirannya. Pada satu sisi, ia sangat memahami pemikiran dan gejolak spritual yang dirasakan oleh Al-Hallaj. Namun ketika Al-Hallaj banyak mengumbar pernyataan spritual (shathaḥat) yang membuat umat Islam yang awwab menjadi bingung. Berdasarkan keputusan sidang pengadilan, ia terpaksa, dalam kedudukannya sebagai kepada Qadi Baghdad, menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati Al-Hallaj. Pada surat itu ia menulis “Berdasarkan syari’at, ia bersalah. Menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui.”[3]
Al-Junayd dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat menekankan pentingnya keselarasan antara praktik dan doktrin tasawuf dengan kaidah-kaidah syari’at. Salah satu ungkapan al-Junayd tentang ilmu tasawuf yang dikutip oleh al-Kūrânī dalam Itḥâfal-dhakī adalah ucapannya: “pengetahuan kami ini terikat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.” Dengan ini mengindikasikan bahwa ajaran tasawuf menurut al-Junayd haruslah tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[4]

Syeikh Juneid al-Bagdadi wafat pada tahun 298 H.[5]

Catatan Kaki
1.  Oman Faturahman, Ithaf al-Dhaki Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara (Jakarta: Penerbit Mizan, 2012)h. 256.
2.  Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, terj. Muh. Hasyim Assagaf (Jakarta: Lentera, 2001),h. 127
3.  Syekh Fadhlullah Haeri,Belajar Mudah Tasawuf..., h. 127
4.  Oman Faturahman, Ithaf al-Dhaki....,.h. 256
5.  (Abbas 2011, hal. 48).
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates